Tiktok, Bowo, dan Media Sosial
Gambar : Tribunstyle |
Halo, udah lama gak nulis blog gara gara keasikan libur
lebaran plus males, akhirnya hari ini bisa update lagi. Tapi kalo gak rame rame
soal Tiktok sih mungkin saya juga gak nulis, hihi J. Pasti semua udah tau
aplikasi Tiktok dong ya? Itu loh yang aplikasi buat bikin video pendek, buat
lipsync ditambah efek filter filter lucuk. Sejak beberapa bulan ini Tiktok jadi
popular banget sekaligus dibenci karena banyak yang beranggapan aplikasi ini gaje
banget dan gudangnya para alay (emang bener sih) Sampai akhirnya karena keluhan
masyarakat serta petisi untuk meminta pemerintah memblokir Tiktok, aplikasi ini
resmi diblokir pada 3 Juli kemaren, walopun akhirnya ada rencana Pemerintah
buat membuka blokir selama ada filtering
untuk konten negatif.
Selain soal konten konten Tiktok, ada sesosok anak remaja
yang jadi viral gara gara tiktok dan sesaat setelah keviralannya di dunia maya,
Tiktok pun diblokir. Adalah Bowo, seorang anak 13 tahun yang hanya menjalani
kehidupan masa pubernya apa adanya. Namun kemudian menjadi bahan bullying semedsos
gara gara doyan tiktokan dan bikin meet and greet berbayar. Padahal bukan salah
bunda mengandung eh maksudnya bukan salah bowo kalau jumpa fans berbayar itu
terjadi. Namun karena segelintir orang (baca : panitia penyelenggara) yang
ingin memanfaatkan situasi buat mengeruk duit dari para remaja baru gede yang
masih minta duit sama ortu. Akhirnya bowo lah yang kena getah dan jadi bahan
hujatan semesta dumay. #pukpukbowo
Saya bisa memahami keprihatinan para netizen soal tiktok
ini. Apalagi kebanyakan yang terserang virus tiktok ini adalah para remaja.
Bayangkan kalo para pemuda harapan bangsa ini menghabiskan waktu buat tiktokan,
bagaimana masa depan bangsa Indonesia ini, hah? (buru buru packing pindah ke
Jerman)
Tapi nih ya kalo mau jujur dan adil (Pemilu kalee), semua
media sosial itu berpotensi buat bikin para remaja pada khususnya menjadi alay
dan terpapar konten negatif. Instagram, facebook, snapchat, twitter, youtube dan
segala medsos lainnya itu juga punya potensi buat merusak mental para
penggunanya. Konten negatif bisa dengan mudah ditemukan di media sosial
tersebut, mulai dari yang berbau pornografi sampe SARA. Lalu kenapa seperti fokus
cuma sama tiktok aja?
Kalo masalah merusak mental, again semua medsos pun juga
punya kemungkinan buat merusak mental dan pemikiran, TV juga. Di sinilah peran
orang tua harusnya bisa membimbing dan mengawasi, bukan malah ikut ikutan
tiktokan juga #eehhh. Orang tua mestinya bisa membimbing gimana cara
menggunakan media sosial dengan baik dan bertanggung jawab. Boleh instagraman
misalnya, tapi cuma follow akun akun yang berfaedah. Bukan selebgram ato lambe turah.
Trus yang ngefollow juga hanya boleh lingkungan teman teman sendiri, bukan
orang asing. Lalu dalam aspek yang lebih luas, mungkin pemerintah perlu
memasukkan literasi digital ke dalam kurikulum sekolah biar anak anak remaja
bisa memahami bagaimana seharusnya mereka menggunakan dunia maya untuk kegiatan
yang positif, bukan cuma buat eksis.
Balik lagi ke bowo, udahlah anda anda para netizen, leave him
alone. Gak perlu dihujat lah karena aslinya gak seganteng di medsos, emangnya
situ enggak? (nyeemmm) Gak usah sinis lah karena dia suka ngalay di tiktok.
Biarkanlah, dia hanya mengekspresikan kealayannya dirinya. Kayak judul lagu mbak BCL, Pernah
Alay, kita semua juga pernah kayak gitu kan? No?
Kita itu sering disuguhi iklan entah dari media sosial atau elektronik. Manusia sempurna itu berwarna putih, rambur lurus, berbody langsing tinggi, hidung mancung, rambut pirang, mata berwarna biru.
Sehingga jika melihar orang berkulit gelap dianggapnya, manusia rendahan.
Ya ,semua termakan oleh iklan.
Bowo nggak salah, doi kan cuma pencari hiburan doang, yg salah ya orang yg ngeliat bowo itu sendiri :D