Influencers palsu
Menjadi influencer
adalah dambaan sebagian besar orang, terutama generasi muda, siapa yang enggak
mau dapat barang gratis, Bisa jalan-jalan, bisa nyoba restoran baru, dan
dibayar? Itu hanya sebagian kecil dari banyak priviledge yang dimiliki seorang
influencer. No wonder, kalo banyak orang berlomba-lomba pengen
jadi kayak gitu. Sampai ada istilah fake influencer? Apaan tuh? I istilah ini
ditujukkan untuk mereka yang pengen kayak influencer dengan cara pintas,
yaitu dengan beli followers biar pengikutnya nambah dengan instant, beli likes,
pake jasa tambah komen instagram, biar keliatannya instagramnya aktif dan engagement-nya
tinggi padahal zonk.
By the way selain cara pintas tadi, ada juga
cara lain yang lebih niat dan ada usahanya, yaitu pakai metode saling follow.
Saling follow ini biasanya dilakukan di sebuah grup, bisa grup di media sosial
atau aplikasi messenger dimana anggota grup saling follow satu
sama lain dan bertukar likes serta komen.
Fenomena fake
influencers ini gak cuma menyedihkan, tapi juga merugikan pemilik bisnis/brand
yang menggunakan jasa mereka. Berikut ini aku jabarin kenapa keberadaan fake influencer ini bisa merugikan untuk sebuah bisnis yang memakai jasa mereka
1. Tidak ada interaksi tulus antara” influencers” dengan followers
Mereka yang beli followers atau menggunakan metode saling follow
pastinya punya kedekatan yang berbeda dengan followersnya dibanding yang punya
pengikut organik. Influencers asli punya basis pengikut yang pada dasarnya
sudah tertarik dengan orang yang mereka follow, sehingga apapun konten yang
dibagikan pasti pengikutnya sukarela memberi likes dan berinteraksi, tidak
demikian halnya dengan influencers palsu yang berinteraksi karena unsur
transaksional. Pemilik bisnis yang memakai jasa influencer abal-abal ini
tentunya gak akan mendapat eksposure yang maksimal untuk bisnisnya dibanding
yang menggunakan real influencer.
Saya pernah mengunjungi sebuah akun instagram yang pemiliknya bergabung di sebuah agensi yang menaungi “influencers”, memang sih likes dan komennya banyak, tapi kalo mau rajin membaca komennya satu persatu, sangat terasa bahwa komentarnya tidak genuine, tidak terlihat seperti komentar yang benar benar tertarik dengan isi kontennya. Saya telusuri beberapa akun yang meninggalkan komen di postingan tersebut dan turn out, mereka tergabung di agensi yang sama. Entahlah apa agensi itu mewajibkan anggotanya untuk saling likes dan memberi komentar agar engagement-nya terlihat real, yang jelas fenomena seperti ini nyata adanya,
2. Merusak “pasar” influencers
Beberapa pemilik bisnis masih menjadikan jumlah pengikut sebagai
patokan memilih influencer, tanpa mengecek bagaimana performa dari akun media sosial si
influencer tersebut. Hal ini bisa jadi meminggirkan influencer yang mungkin
punya engagement yang lebih baik
karena “dikalahkan” oleh mereka yang membeli pengikut.
3. Pesan brand yang tidak tersampaikan dengan baik
Setiap brand pasti mempunyai pesan yang ingin disampaikan dan influencers adalah " penyambung lidah" antara brand dengan target audiens. Ketika brand menggunakan influencer palsu tentunya pesan ini tidak akan sampai sesuai harapan, karena pengikutnya bodong atau sesama fake influencers lainnya. Tentu hal seperti ini menjadi kerugian untuk brand.
Tidak salah kalo banyak yang ingin menjadi influencer karena lahan ini menggiurkan untuk mencari cuan, but keep in mind kalau influncer bukan seseorang yang sekedar memiliki banyak followers, banyak likes, dan konten yang kebanyakan selfie. Influencer adalah seseorang yang memiliki daya tarik lebih dari hanya sekedar good looking. Mereka punya talenta, pengetahuan, dan profesional di bidangnya masing-masing. Influencer dilihat dari besarnya pengaruh figur ini ke pengikutnya, bukan dari besarnya jumlah followers, walaupun keduanya bisa saja terjadi bersamaan. Kalo kamu ingin jadi influncer, caranya bukan dengan menambah followers, tapi menambah konten yang menarik. People follow you for your contents,bukan karena dirimu, kecuali kamu artis yang kehidupannya selalu menarik untuk dikepoin.
What do you think?
1.