Batasi media sosial demi menjaga kesehatan mental di masa pandemi

Gambar:Unsplash (Niklas_Hamann)

Mengurangi aktivitas di dunia maya demi kesehatan jiiwa

Lelah, begitulah perasaan saya melihat media sosial sebulan belakangan ini. Sepertinya sejak virus corona masuk ke Indonesia 3 bulan lalu, intensitas kegaduhan yang muncul di media sosial juga semakin menjadi jadi. Dimulai dari ribut ribut Ria Ricis yang ditegur warga satu komplek, prank kasih sembako isi sampah, gaduh teori konspirasi Jrx SID,sampai kasus selebgram Indira Kalistha. Belum lagi keributan di dunia maya dan dunia nyata terkait new normal. Semua kegilaan yang terjadi di media sosial ini sedikit banyak mulai mengurangi kewarasan kalau tidak kita sendiri yang memutuskan untuk mengurangi waktu bermedsos. Gara gara intensitas keributan media sosial yang semakin meningkat, saya sekarang jarang membaca linimasa twitter. Mengunfollow akun akun yang hanya menambah stress, dan lebih banyak menonton Youtube.  Untungnya Youtube sudah mengerti kalau saya suka menonton video kucing. Jadi beranda Youtube saya lebih banyak menampilkan video video lucu kucing. Dibanding Instagram dan Twitter, linimasa Youtube saya masih tergolong aman dari hal hal yang mempengaruhi kesehatan jiwa.

Kita pasti sudah mengerti efek negatif yang bisa ditimbulkan media sosial. Apalagi di masa pandemi kayak sekarang, kita harus bener bener jaga kesehatan biar tidak mudah tertular virus mematikan itu. Kesehatan disini bukan cuma fisik, tapi juga mental. Sayangnya banyak orang yang belum sadar kalau menjaga kesehatan mental itu sama pentingnya dengan menjaga kesehatan fisik. Kondisi mental yang baik juga pasti mempengaruhi kesehatan fisik.  Salah satu cara untuk menjaga kesehatan mental adalah dengan membatasi pemakaian media sosial. Tapi sepertinya, sejak ada anjuran  work from home, banyak orang menggunakan waktunya yang lebih lowong buat ngecek medsos. Traffic internet dilaporkan meningkat sejak ada ketentuan kerja di rumah dan sekolah diliburkan. Sepertinya “kegilaan” yang banyak terjadi di media sosial belakangan ini ada hubungannya dengan semakin banyaknya waktu luang orang orang yang tadinya kerja di luar rumah lalu harus berdiam diri di rumah.

Melindungi diri dari efek negatif media sosial sangat perlu dilakukan di tengah pandemi seperti sekarang.  Sebelum Covid-19 saja hoax dan keributan di dunia maya sudah banyak terjadi, apalagi saat ini. Saya bukan orang yang anti medsos sih.  Media sosial tentu punya banyak efek positif di tengah kesulitan seperti sekarang. Banyak orang orang baik yang mengumpulkan donasi lewat kekuatan media sosial, sebagai tempat promosi jualan, tempat mencari informasi, bahkan media sosial bisa jadi tempat untuk menemukan kekuatan mental yang tidak ditemui di dunia nyata. Namun, media sosial juga mempunyai efek efek negatif. Beberapa orang yang saya follow  di dunia maya mengumumkan kalau mereka mau rehat sejenak dari hiruk pikuk medsos di saat pandemi ini. Saya bisa memahami alasan mereka, arus informasi yang bertubi tubi dan drama drama yang terjadi seputar virus ini bisa membuat kita merasa overwhelmed, penat secara mental. Satu satunya jalan untuk menyelamatkan diri adalah mengundurkan diri sejenak dari media sosial.

Namun, banyak orang tidak berani untuk sejenak meliburkan diri dari instagram atau twitter. Media sosial sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari hari, seperti ada yang hilang kalau sehari saja tidak mengeceknya.  Rasanya seperti orang yang terputus dari dunia luar kalau tidak berselancar di dunia maya.  Tidak salah kalau saya menyebutnya sebagai kecanduan. Ya, kecanduan media sosial itu sebuah hal yang nyata adanya. Perasaan cemas kalau sehari saja tidak mengecek media sosial bukan hal yang bisa dibilang normal. Kecanduan media sosial adalah sebuah penyakit, ditambah lagi dengan paparan tanpa henti informasi seputar Covid-19 yang stressful di linimasa masing masing, apa tidak babak belur?

Media sosial bisa jadi tempat “terbaik” untuk menyuburkan kecemasan dan kepanikan kita.  Apalagi di tengah suasana tidak menentu seperti saat ini, tidak sulit untuk menemukan informasi infomasi sesat yang menebar ketakutan di tengah masyarakat. Sebuah studi di China menunjukkan bahwa tingkat kecemasan meningkat seiring dengan semakin masifnya eksposur terhadap pemberitaan COVID-19 ini. Kecemasan atau anxiety membawa efek buruk bagi kesehatan fisik. Tanpa perlu membaca jurnal kesehatan kita juga pasti sudah tahu kalau kondisi mental yang kacau balau akan berpengaruh pada kondisi fisik.  Pemberitaan negatif dan drama drama media sosial yang terus kita “konsumsi” tanpa disadari membuat suasana hati kita tidak stabil. Kita jadi gampang marah, gampang terpelatuk, gampang sedih dengan  berbagai informasi yang kita baca dan tonton.  Sebelum terlambat, mungkin ada baiknya kita melakukan detoks digital agar tidak tersedot lebih jauh ke pusaran keriuhan di media sosial selama pandemi.

Detoks digital bisa diartikan sebagai menjauh dari hingar bingar media sosial selama periode waktu tertentu. Bagi yang sudah benar benar lelah, mungkin cara ini bisa dilakukan.  Tapi untuk yang pekerjaan sehari harinya berhubungan dengan media sosial, digital detox jelas akan menghalangi kelancaran pekerjaan. Untuk itu, meminimalisir penggunaan medsos adalah hal yang paling masuk akal untuk dilakukan. Tidak benar benar off, hanya dikurangi intensitasnya.

Mengurangi intensitas penggunaan media sosial pastinya lebih sulit dilakukan dibanding langsung uninstall aplikasi medsos. Rasanya sulit untuk tidak tergoda membaca komentar, tidak jalan jalan ke explore tab instagram, atau berargumen dengan orang asing di dunia maya. Dibutuhkan kedisiplinan dan motivasi baja untuk bisa melakukannya. Saya sendiri masih berjuang untuk mengurangi waktu bermesdos. Beberapa hal yang mulai saya lakukan untuk menggunakan media sosial dengan lebih sehat diantaranya:

-          Mute postingan dan story dari teman yang bisa berefek negatif untuk emosi kita. Mute adalah jalan terbaik untuk yang capek melihat isi postingan seseorang, tapi tidak mau merusak pertemanan dengan unfollow atau block.

-          Jangan tergoda mengintip explore instagram. 

-          Tidak perlu follow akun gosip instagram atau akun akun auto base di twitter.

-          Tidak perlu follow selebgram, apalagi yang doyan drama.

-          Tahan diri untuk tidak berkomentar dan beradu argumen di dunia maya

Saya mempraktikkan hal hal di atas dan lumayan membawa efek positif. Saya sadar kalau saya terlalu banyak mengikuti akun akun sampah yang isinya kebanyakan provokasi, gosip, dan konten konten nirfaedah. Sejak mengunfollow akun akun tersebut, dan menggantinya dengan akun yang lebih positif, media sosial saya terasa lebih damai. Memang kadang terasa hambar karena tidak ada drama drama dan internet war yang bisa saya ikuti, tapi toh buat apa juga mengikuti drama medsos? Cuma buang buang energi dan melelahkan  mental.

Menjaga kesehatan mental dengan membatasi akses media sosial di tengah pandemi ini adalah hal yang sangat penting untuk dilakukan.  Matikan notifikasi media sosial. Sunyikan grup Whatsapp sehingga kita tidak tergoda untuk setiap saat mengecek grup. Unfollow akun akun yang hanya meracuni kesehatan mental. Lakukanlah apapun yang bisa menjaga kewarasan di saat seperti ini. Jauhkan diri dari segala keributan media sosial yang tidak habis habis. Media sosial kadang bisa menjadi sarana hiburan pelepas lelah, tapi kalau dikonsumsi berlebihan hanya semakin menambah kepenatan hidup.

Jaga diri. Jaga kesehatan fisik dan mental. Semoga kita semua selalu diberikan kesehatan dan dijauhkan dari segala penyakit.

 

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

About Me

 An introverted overthinker who like to speak her mind through Blog, Instagram, and Twitter